Sinopsis Cerita
10 April. Kemarin adalah hari terakhir musim semi, maka mulai pagi
ini adalah hari sekolah. Setelah dibangunkan adik kecilnya yang lucu,
Itsuka Shido yakin kalau hari itu adalah permulaan hari seperti
biasanya. Tanpa dapat memperkirakan pertemuan dengan seorang gadis yang
menyebut dirinya Spirit......
Bersamaan dengan goncangan yang datang tiba-tiba, kota yang
terbentang di depannya lenyap tanpa jejak. Di sudut jalan yang sekarang
telah menjadi sebuah kawah, di sanalah gadis itu.
"—Kau, kau datang untuk membunuhku juga?"
Dialah malapetaka yang akan menghancurkan umat manusia, monster
yang tak dikenal asal usulnya, sebuah keberadaan yang ditolak oleh
dunia. Hanya ada dua jalan untuk menghentikan gadis ini: pembinasaan,
atau pembicaraan. Adik kecilnya Kotori, memakai seragam militer, dengan
demikian berkata kepada Shido: “Karena sudah seperti ini, pergilah ajak
dia kencan, dan buat Spirit itu jatuh hati padamu!” “Ap.. apaaaaaaaa!?”
Masuki era baru kisah romantika remaja!!
Prologue: Perjumpaan Tak Terduga -restart-
—Ia menahan nafas.
Benar-benar pemandangan yang sulit dipercaya.
Seakan-akan satu bagian dari kota ini baru saja ditelan lenyap.
Yang menggantikannya adalah sebuah lubang yang luar biasa besar, mungkin meteorit jatuh saja tidak dapat membuatnya.
Sosok sekelompok manusia beterbangan di langit.
Benar-benar tidak masuk akal bahkan melebihi imajinasi terliarnya.
Namun, Shido bahkan tidak menyadari keabnormalan semua ini.
—Karena ada sesuatu yang lebih luar biasa lagi di hadapan mata Shido.
Seorang gadis.
Sesosok gadis, terlingkupi cahaya asing, berdiri disana.
"Ah—"
Diiringi suara pelannya, desah nafasnya perlahan menghilang.
Keberadaan gadis itu terlalu menakjubkan sampai-sampai menekan keberadaan benda lain disekitarnya.
Seperti logam, tapi juga seperti kain, gaun yang terbuat dari bahan aneh yang menarik pandangan.
Tersemat pada gaun tersebut, rok yang memancarkan cahaya, saking indahnya dapat membuat orang kehilangan kesadaran.
Akan tetapi, kecantikan gadis itu sendiri membayangi itu semua.
Rambut hitam panjangnya, bagaikan kobaran awan hitam, berkibaran di sekitar bahu dan pinggangnya.
Dengan dinginnya menatap angkasa, kedua matanya memiliki warna yang aneh dan sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Sosoknya, yang mungkin saja bisa membuat iri seorang Dewi, terbelit keletihan, sembari ia berdiri diam dengan bibir terkatup.
Pandangan Shido;
Perhatiannya;
Bahkan hatinya;

—Pada momen itu, semuanya terambil alih.
Pemandangan itu...
Benar-benar;
Sangat;
Luar biasa;
Indah.
"—Siapa..."
Terkesima, Shido berbicara untuk pertama kalinya.
Meski kelancanganku ini akan membuat suara dan mataku hancur, itu pikirnya.
Gadis itu perlahan mengalihkan pandangannya turun.
"...namamu?"
Suaranya, memuat pertanyaan tersebut dari lubuk hatinya, bergema di udara.
Namun.
"—Aku tidak punya hal semacam itu"
Dengan tatapan sedih, gadis itu menjawab.
"..."
Pada saat itu.
Mata mereka berdua bertemu—kisah Itsuka Shido telah dimulai.
Bagian 1
“Ahhh...”
Perasaan saat bangun tidur benar-benar yang terburuk.
Lagipula, ketika kau terbangun dan menemukan adikmu sedang
semangat menari samba sambil menginjak-injak perut atau dada atau
kepalamu, selain sekelompok orang-orang tertentu, siapapun tidak akan
menyenanginya.
10 April, Senin.
Kemarin adalah hari terakhir libur musim semi, jadi hari ini masuk sekolah.
Sambil mengusap matanya yang masih mengantuk, Shido berkata dengan suara yang direndah-rendahkan:
“Ahh, Kotori. Imouto-ku yang lucu.”
"Ohhhhh!?"
Saat itulah dia akhirnya menyadari kalau Shido sudah terbangun.
Sang imouto dengan kaki yang masih menginjak perut Shido—Kotori,
membalikkan kepala sambil merapikan seragam sekolah menengahnya.
Rambut panjangnya, terbagi menjadi dua ikatan, berayun-ayun,
selagi dia memandang Shido lewat mata bundarnya yang sebesar biji ek.

Yang anehnya, meskipun ia baru saja tertangkap basah menginjak
seseorang di pagi-pagi buta, ia tidak membalas dengan “Sial!” atau “Ah
ketahuan!”. Malah kelihatannya, ia terang-terangan gembira karena Shido
telah bangun.
Oh, dan dari posisi Shido, terlihat pemandangan luar biasa yakni celana dalamnya.
Dan itu bukan hanya terlihat sekilas saja. Bahkan tidak tahu malu juga ada batasnya.
“Ada apa? Onii-chan yang lucu!”
Kotori menjawab, tanpa niat sedikitpun untuk memindahkan kakinya.
Kalau kau bertanya-tanya, sebenarnya Shido tidak lucu.
“Eh, pergi dari atasku. Berat.”
Kotori mengangguk dalam-dalam dan melompat dari tempat tidur.
Perut Shido terkena tolakan seperti terpukul benturan tubuh.
“Gfhu!”
“Ahahaha, gfhu! Ahahahaha!”
“...”
Shido sambil terdiam menarik selimut ke atas kepalanya.
“Ahh! Hei~! Kenapa kamu tidur lagi!”
Kotori mengeraskan suaranya, pelan-pelan menggeser-geser tubuh Shido.
“Sepuluh menit lagi...”
“Gak boleh~! Cepat bangun!”
Setelah duduk dan meringis karena rasa pusing setelah menggelengkan kepalanya, Shido membuka mulutnya sambil mengerang.
“C-Cepat Lari...”
“Eh?”
“...Sebenarnya, aku sudah terjangkit ‘Virus kalau aku tidak tidur
selama 10 menit lagi aku akan menggelitiki adikku tanpa ampun’, nama
lainnya. T-virus..."
“A-Apa!?”
Kotori sama terkejutnya dengan orang yang baru saja menemukan pesan rahasia dari alien.
“Lari... selagi aku masih bisa mengendalikan diri...”
“T-Tapi, bagaimana dengan onii-chan!?”
“Jangan khawatirkan aku... selagi kau aman-aman saja...”
“Gak mungkin! Onii-chan!”
“Gaaaahh!”
“Kyaaaaaaaaaaa!”
Shido menyibak selimutnya, dengan liar menggerakan kedua tangannya dan meraung, membuat Kotori kabur sambil berteriak ketakutan.
“...Hah”
Sambil mendesah, ia menyelimuti dirinya lagi. Ia melihat jam, masih belum pukul enam.
“Masih jam segini sudah membangunkan...”
Saat menggerutu, ia tiba-tiba mengingat sesuatu.
Pikirannya yang setengah tertidur perlahan-lahan tersadarkan, muncul ingatan dari malam sebelumnya.
Kedua orangtuanya telah berangkat melakukan perjalanan untuk keperluan bisnis kemarin.
Karena itu Shido untuk sementara bertanggung jawab atas urusan
dapur, maka dari itu Shido, yang susah bangun, meminta Kotori untuk
membangunkannya.
“Ah...”
Merasa bersalah karena mungkin telah melakukan sesuatu yang buruk, ia terburu-buru bangkit dari tempat tidur.
Merapikan rambutnya yang acak-acakan setelah baru bangun dan menahan kantuk, Shido dengan lesu berjalan keluar dari ruangan.
Pada saat itu, cermin kecil yang tergantung di dinding menarik perhatiannya.
Seorang anak lelaki dengan poni yang hampir menutupi
pandangannya, mungkin karena ia belum potong rambut lagi setelah cukup
lama, menjatuhkan pandangan bodoh pada Shido.
“...”
Berbarengan dengan penglihatannya yang semakin kabur, wajahnya
juga terlihat sedikit menua. Sambil mendesah, ia menuruni tangga dan
memasuki ruang tamu.
“...Huh?”
Pemandangan yang sedikit lain dari biasanya menyambutnya.
Meja kayu yang ada di tengah ruang tamu sekarang dibalikkan ke
sisi sampingnya, seperti menjadi barikade. Di baliknya, terlihat kepala
dengan
twin-tail yang sedikit gemetaran.
"..."
Melangkah diam-diam, Shido mendekati sisi meja.
Yakin sekali, Kotori sedang duduk di situ memeluk lututnya dan gemetar ketakutan.
"Graaaaahh!"
"Kyaa! Kyaaaaaaa!"
Saat Shido memegangi bahunya, Kotori meneriakkan pekikan putus-asa bersamaan dengan melemasnya kaki-kakinya.
“Tenang, tenang! Ini diriku yang biasa.”
"Gyaaaa! Gyaa... ah? O-onii-chan?"
"Yep, betul."
"Kamu... Gak seram lagi?"
“Udah gak apa-apa sekarang. Aku teman Kotori.”
“Oh, ohhhhhh.”
Selagi Shido berbicara dengan nada lucu, wajah tegang Kotori perlahan-lahan rileks.
Ia mirip seperti tupai rubah liar yang telah membuka hatinya.
"Maaf, maaf. Aku akan membuat sarapan sekarang."
Setelah melepas tangan Kotori dan berdiri, Shido menaruh meja kembali ke posisi asalnya dan pergi menuju dapur.
Karena bekerja di perusahaan elektronik besar yang mereka bangun bersama, kedua orang tua Shido sering bepergian dari rumah.
Pada saat-saat itulah, Shido selalu bertanggung jawab untuk
menyiapkan makanan, jadi ia sudah terbiasa. Malah kenyataannya, ia yakin
ia dapat menggunakan peralatan memasak lebih baik dari ibunya.
Shido sedang mengambil beberapa telur dari kulkas, saat ia
mendengar suara TV dari belakangnya. Sepertinya Kotori sudah menenangkan
diri dan menyalakan TV.
Kalau dipikir-pikir, sepertinya Kotori punya kebiasaan harian makan sambil menonton pojok horoskop atau ramalan.
Yah, kebanyakan acara ramalan biasanya muncul di akhir acara
utama, dan tentu saja hanya spekulasi belaka. Setelah memeriksa seluruh
channel, Kotori mulai menonton sesuatu yang sepertinya sebuah acara berita yang membosankan.
“—Pagi hari ini, di pinggiran Kota Tenguu—"
"Nn?"
Tidak sengaja ia mendengar isi acara berita yang biasanya tak berguna dan sekadar BGM
[3] saja, Shido mengangkat sebelah alis.
Alasannya sederhana. Dari suara jernih sang penyiar, ia mendengar nama jalan yang tidak asing.
"Nnn? Itu lumayan dekat. Ada kejadian apa?"
Mencondongkan badan dari balik
counter, ia menyipitkan mata dan menatap TV.
Di layar, tampil gambar jalan yang hancur bukan main.
Gedung-gedung dan jalanan telah dikandaskan menjadi puing-puing.
Kehancuran itu menyaingi benturan sebuah meteorit, atau bahkan serangan udara.
Shido mengernyitkan alisnya, dan mengeluarkan nafas yang ditahannya lalu berkata:
“Ahhhh...
Spacequake ya.”
Seakan sudah jemu mendengarnya, ia menggelengkan kepala.
‘Gempa ruang’ mengacu pada fenomena berguncangnya sebuah area yang lebar.
Itu adalah istilah umum yang diberikan pada letusan, gempa,
kelenyapan, dan hal lainnya yang terjadi tanpa alasan jelas pada waktu
dan tempat yang tidak pasti.
Seperti halnya monster raksasa, menghancurkan jalanan untuk alasan yang tidak jelas, fenomena-fenomena yang tidak masuk akal.
Peristiwa pertamanya terjadi tiga puluh tahun lalu.
Terjadi tepat di tengah-tengah Eurasia—daerah yang memuat banyak
negara seperti Uni Soviet, Cina, dan Mongolia terhapus dalam satu malam.
Untuk generasi Shido, hanya melihat gambar-gambar di
textbook saja sudah merasa risih.
Seakan-akan semua yang ada di permukaan tanah dikorek lepas, tanpa meninggalkan sisa.
Korban jatuh sekitar 150 juta. Bencana terbesar dan paling mematikan dalam sejarah manusia.
Dalam 6 bulan berikutnya, insiden yang sama terjadi dengan skala yang lebih kecil di seluruh dunia.
Shido tidak dapat mengingat jumlah kejadian pastinya, tapi sekitar lima puluh kali.
Di pedaratan, kutub, samudera, bahkan di pulau-pulau kecil, kasus-kasus seperti itu sudah dikonfirmasi.
Tentu saja, Jepang bukan pengecualian.
Enam bulan setelah Bencana Langit Eurasia itu, daerah dari Tokyo
bagian Selatan sampai Perfektur Kanagawa telah berubah menjadi lingkaran
daratan hangus, seakan-akan dihilangkan dengan penghapus.
Benar—termasuk daerah yang Shido tinggali sekarang.
“Tapi dulu sempat berhenti terjadi untuk sementara, kan? Kenapa jumlah kejadiannya bertambah lagi?”
“Aku juga mau tahu...?”
Pada pertanyaan Shido, Kotori, masih menatap TV, memiringkan kepala.
Setelah kejadian di Kanto Selatan sebelumnya,
spacequake sempat tidak terdeteksi untuk sementara.
Akan tetapi, lima tahun lalu, dimulai dari pinggiran Kota Tenguu
yang baru dibangun ulang, fenomena misterius ini kembali bermunculan di
sana-sini.
Tambah lagi, kebanyakannya terjadi—di Jepang.
Tentu saja manusia tidak duduk diam saja tanpa melakukan apapun selama selang dua puluh lima tahun itu.
Dimulai tiga puluh tahun lalu dari daerah-daerah yang telah selesai dikembangkan,
shelter[4] bawah tanah telah tersebar dengan laju yang luar biasa cepat.
Bersamaan dengan kenyataan bahwa sudah adanya kemampuan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya
spacequake, sebuah tim penanggulangan bencana dari JSDF
[5] yang berlisensi telah terbentuk.
Tujuan mereka adalah untuk bepergian ke daerah-daerah bencana dan
membangun kembali fasilitas dan jalan-jalan yang hancur, tapi cara
kerja mereka hanya dapat diumpamakan sebagai sihir.
Bagaimanapun juga, jalan-jalan yang hancur lebur, dalam jangka
waktu yang sangat singkat, dapat dipulihkan seperti keadaannya semula.
Pekerjaan mereka digolongkan sebagai
Top Secret sehingga
tidak ada informasi yang disebarkan ke publik, namun ketika kau melihat
gedung runtuh dibetulkan hanya dalam satu malam, kau hanya bisa
mempercayai itu sebagai trik sulap.
Namun, meskipun perbaikan tersebut dapat dikerjakan dengan sangat cepat, bukan berarti bahaya yang ditimbulkan
spacequake itu kecil.
“Bukankah kelihatannya daerah sekitar sini banyak
spacequake? Terutama tahun lalu.”
“...Hmm, kelihatannya begitu, huh. Mungkin sedikit terlalu cepat...”
Kotori bergumam, menyandarkan tubuhnya ke lengan sofa.
“Terlalu cepat? Apa yang terlalu cepat?”
“Nnn..., gak kenaha-aha.”
Kali ini Shido-lah yang memiringkan kepalanya.
Bukan karena apa yang Kotori katakan, namun karena setengah kalimatnya terdengar sedikit teredam.
“...”
Diam-diam, ia memutari
counter, dan berjalan menuju sisi sofa yang disandari Kotori.
Mungkin Kotori telah menyadarinya, tapi saat Shido mendekat, dia perlahan-lahan memalingkan wajahnya.
“Kotori, coba lihat ke arah sini sebentar.”
“...”
*bonk*
"Guhh!"
Kotori memegangi kepala dengan tangannya, dan berbalik tersentak. Suara yang aneh terdengar dari dalam mulutnya.
Melihat apa yang ada di dalam mulutnya seperti yang ia kira, Shido mengeluh pendek, “Sudah kuduga”.
Meskipun saat itu tepat sebelum sarapan, Kotori sudah menikmati permen favoritnya, Chupa Chups, di mulutnya.
“Hey! Aku sudah bilang kan jangan buka permen sebelum makan?”
"NNNnnn! NNNnnnnn!"
Ia berusaha merebut permennya lalu mengambil tongkat, ia lihat Kotori mencoba melawan dengan memasang muka masam.
Shido mencemberutkan wajahnya sambil melihat-lihat tempat yang
harus ia pukul, karena ia sebenarnya benar-benar tidak ingin memukul
orang dengan wajah semanis itu.
“...benar-benar deh. Sebaiknya kau habiskan sarapanmu!”
Pada akhirnya Shido-lah yang mengalah. Ia mengelus kepala Kotori, dan kembali ke dapur.
“Ohh! Aku sayang Onii-chan!”
Shido membalasnya dengan ayunan tangan dan kembali pada pekerjaannya.
“...kalau dipikir-pikir, hari ini upacara pembukaan sekolah menengahmu, kan?”
“Betul~”
“Berarti kau pulang saat makan siang, ya... Kotori, kau minta apa untuk makan siang?”
Setelah Kotori berpikir sejenak “Hmmmm”, ia menggelengkan kepala, lalu tiba-tiba berdiri.
"
Deluxe Kids Plate!"
Itu adalah nama menu makan siang untuk anak-anak yang ditawarkan di restoran keluarga dekat situ.
Shido menegakkan tubuhnya, dan setelah itu, menunduk menyesal.
“Toko ini tidak menyediakan itu.”
"Ehh~"
Sambil menghisap lolipop, Kotori menyahut dengan suara kecewa.
Shido mendesah keras lalu mengangkat bahunya.
“Terserah, aku tidak bisa komentar banyak, ini kesempatan sekali-kali saja jadi ayo kita keluar untuk makan siang.”
“OHHHH! Benarkah!?”
“Ya. Kalau begitu, ayo kita bertemu di restoran keluarga yang biasa sepulang sekolah.”
Shido berkata, dan Kotori mengusap-usap kedua tangannya dengan bersemangat.
“Jangan menarik kata-katamu! Janji! Kamu harus ada disana meskipun ada gempa bumi atau kebakaran atau terjadi
spacequake atau bahkan kalau restoran itu ditempati teroris!”
“Tidak. Kalau ada teroris kita tidak akan makan di sana.”
“Kamu harus ke sana!”
“Iya, iya, aku tahu.”
Mendengar Shido mengatakan hal itu, Kotori dengan bersemangat mengangkat kedua tangannya ke atas sambil berteriak “Whoooo~”
Shido bahkan tidak pikir-pikir lagi apakah ia terlalu royal atau tidak. Yah, untuk hari ini saja.
Dari malam ini kedepannya mereka harus menyantap makanan di rumah
untuk sementara, namun hari ini adalah perayaan pembukaan untuk mereka
berdua. Berfoya-foya sedikit seharusnya tidak masalah.
Yah, lagipula menu
lunch anak-anak seharga 780 yen tidak bisa dibilang foya-foya juga.
"Nnnnn..."
Shido sedikit meregangkan badannya, dan membuka jendela kecil di dapur.
Langit sudah cerah. Sepertinya hari ini akan jadi hari yang bagus.
Bagian 2
Sekitar jam 8.15 Pagi, ketika Shido sampai di gedung sekolah lanjutannya.
Setelah memeriksa daftar kelas yang ditempel di koridor, ia memasuki ruangan kelas di mana ia akan menghabiskan tahun ajarannya.
“Tahun 2, Kelas ke-4, huh?”
Sejak
spacequake tiga puluh tahun lalu, daerah dari Selatan Tokyo sampai Perfektur Kanagawa—dengan kata lain, lahan kosong yang tercipta dari
spacequake tersebut, telah mengalami pembangunan kembali sebagai kota uji menggunakan berbagai metode baru.
Sekolah umum yang diikuti Shido, Raizen High School, adalah salah satu contohnya.
Dilengkapi dengan fasilitas yang membanggakan, sekolah yang
kelihatannya bukan sekolah umum ini baru saja dibangun beberapa tahun
lalu, maka kondisinya sendiri masih hampir sempurna. Tentu saja, sebagai
sekolah yang dibangun di daerah bekas bencana, sekolah ini dilengkapi
dengan
shelter bawah tanah.
Untuk alasan-alasan inilah maka rasio pendaftarannya cukup
tinggi, bagi Shido, yang mendaftar hanya karena alasan “dekat dengan
rumah”, ia perlu berusaha cukup keras.
"Mmmm...."
Sambil bergumam kecil, ia memeriksa keadaan kelas.
Masih ada sedikit waktu sebelum
homeroom, tapi sudah ada banyak orang yang berkumpul.
Ada orang-orang yang gembira karena berada di kelas yang sama,
ada yang duduk sendirian dan terlihat bosan, dan orang-orang dengan
berbagai reaksi... tapi kelihatannya tidak ada wajah yang Shido kenal.
Saat Shido menggerakan kepalanya untuk memeriksa bagan tempat duduk yang tergambar di papan tulis,
"—Itsuka Shido."
Tiba-tiba, dari belakangnya, suara yang pelan berbicara dengan nada monoton.
"Huh...?"
Ia tidak mengenali suara itu. Karena penasaran, ia berbalik.
Seorang gadis yang ramping berdiri di sana.
Gadis itu memiliki rambut yang pas mencapai bahunya dan wajah yang mirip seperti boneka.
Mungkin tidak ada orang yang lebih cocok dengan deskripsi ‘seperti boneka’ selain dirinya.
Meski dia terlihat berwibawa seperti buatan manusia yang dibuat
sedemikian detailnya, pada saat yang sama, wajahnya tidak menunjukkan
emosi apapun.
“Eh...?”
Shido melirik-lirik ke sekelilingnya, lalu memiringkan kepalanya.
“...Aku?”
Ia tidak menemukan Itsuka Shido lain di sekitarnya, jadi ia menunjuk dirinya sendiri.
“Ya.”
Tanpa ada emosi tertentu, gadis itu langsung menjawab, sedikit mengangguk ke arah Shido.
“Ke, kenapa kau tahu namaku...?”
Shido bertanya, dan gadis tersebut, mungkin kebingungan, memiringkan kepalanya.
“Kamu tidak ingat?”
"...Um."
"Begitu."
Shido dengan ragu-ragu menjawab, dan gadis tersebut, kelihatannya
sangat kesal, memberikan komentar pendek dan berjalan ke arah bangku di
dekat jendela.
Setelah itu, ia duduk di bangku tersebut, mengambil sesuatu yang
kelihatannya seperti petunjuk teknis yang tebal, dan mulai membaca.
“Apa... yang terjadi, sebenarnya?”
Shido menggaruk wajahnya dan memberengut.
Bagaimanapun kelihatannya, sepertinya ia mengenal Shido, tapi apa mereka pernah bertemu di suatu tempat sebelumnya?
*whack*
"Gefhuu!"
Ketika Shido sedang fokus berpikir, ada yang menepuknya dengan keras di punggungnya.
“Apa yang kau lakukan, Tonomachi!?”
Ia langsung tahu siapa pelakunya, dan berteriak sambil mengelus punggungnya.
“Hey, kau kelihatannya cukup bersemangat,
sexual beast Itsuka.”
Teman Shido, Tonomachi Hiroto, sebelum menunjukkan rasa senangnya
karena berada di kelas yang sama, seakan memamerkan rambutnya yang
dicat dan tubuhnya yang berotot, melipat tangan dan sedikit menekukkan
tubuhnya ke belakang sambil tertawa.
"...Sex... Apa kau bilang?"
“
Sexual beast, dasar jahanam. Aku baru sebentar tidak
berjumpa denganmu dan kau sudah cukup jantan rupanya. Sejak kapan kau
jadi dekat dengan Tobiichi, bagaimana caranya huh?”
Sambil melilitkan lengannya ke sekitar leher Shido dengan menyeringai, Tonomachi bertanya.
“Tobiichi...? Siapa itu?”
“Ayolah, jangan berlagak bodoh. Baru saja kalian asyik berbincang-bincang, iya kan?”
Tonomachi mengarahkan dagunya ke bangku di dekat jendela.
Disana, duduk gadis tadi.
Sepertinya dia menyadari tatapan mereka, gadis itu melirik dari balik buku, melihat ke arah mereka.
"..."
Nafas Shido tersesak di lehernya saat ia dengan canggung memalingkan matanya.
Sebaliknya, Tonomachi tersenyum dan melambaikan tangan dengan sok kenal.
“...”
Gadis itu, tanpa menunjukkan reaksi tertentu, memalingkan pandangannya kembali ke buku di tangannya.
“Nah, lihat, dia selalu seperti itu. Dari semua gadis, dia yang paling susah, dia sebanding dengan
dinginnya tanah di kutub, atau Perang Dingin atau
Mahyadedosu[6]. Bagaimana caranya kau membuat dia terbuka?”
“Huh...? Ap-Apa yang kau bicarakan?”
“Hah, kau benar-benar tidak tahu?”
“...Hmm, apa dia benar-benar ada di kelas kita tahun lalu?”
Saat Shido mengatakan ini, Tonomachi melipat tangannya dengan
pose “Aku tidak percaya”, memasang ekspresi terkejut. Dia seseorang yang
suka meniru reaksi orang Barat.
“Ayolah
man, dia Tobiichi, Tobiichi Origami. Dia si
super-jenius yang dibangga-banggakan sekolah kita. Kau tak pernah
mendengar yang seperti itu?”
“Tidak, ini pertama kalinya aku mendengarnya tapi... Apa dia benar-benar sehebat itu?”
“‘Hebat’ saja tidak dapat mengutarakan dirinya. Nilainya selalu berada di peringkat teratas, dan pada ujian
Try Out baru-baru ini dia mendapat hasil yang gila dan langsung melesat ke peringkat teratas se-nasional.”
“Haaah? Kenapa orang seperti itu ada di sekolah umum?”
“Tidak tahu. Mungkin kondisi keluarga?
Mengangkat bahunya tinggi-tinggi, Tonomachi lanjut berbicara.
“Tambah lagi, itu belum semuanya. Nilai PE
[7]-nya juga superior, dan selain itu dia juga cantik. Di
Best Thirteen Most Wanted Girlfriends Ranking tahun lalu dia berakhir di peringkat ketiga seingatku. Bukannya kau melihatnya?”
“Aku bahkan tidak tahu ada yang semacam itu. Lagipula,
best thirteen? Kenapa angkanya aneh begitu?”
“Karena anak yang mengurusnya adalah
rank ketiga-belas.”
“...Aaah.”
Shido tertawa pelan.
“Ngomong-ngomong,
Most Wanted Boyfriends Ranking sampai
best 358 lho.”
“Sebanyak itu!? Semakin kebawah semakin parah kan? Apa pengurusnya yang menetapkan angka itu juga?”
“Ahh. Orang itu tidak kenal menyerah.”
“Kau peringkat berapa Tonomachi?”
“Nomor 358”
“Kau pengurusnya!?”
“Alasan kenapa aku bisa mendapat peringkat itu: ‘Gairahnya
sepertinya akan jadi terlalu kuat’, ‘Ia terlalu berambut’, dan ‘ujung
kakinya bau’.”
“Sudah kuduga, itu
rank terparah!”
“Yah, dibawah itu adalah untuk orang-orang yang tidak ada
vote-nya. Paling tidak dengan
Minus Point aku berhasil memenangkan kategori tersebut.”
“Kau terlalu memaksa! Dengan
rank seperti itu, akan lebih baik kalau kau menyerah.”
“Jangan khawatir Itsuka. Kau masuk peringkat dengan nama Mr. Anonymous dan mendapat satu suara dengan peringkat ke-52.”
“Tanggapanmu salah!”
“Yah dengan alasan-alasannya: ‘dia tidak terlihat tertarik dengan
wanita’, dan ‘sejujurnya, dia kelihatan seperti seorang homo’.”
“Itu palu besi kematian berupa fitnah yang tidak masuk akal!”
“Tenanglah. Dalam
Fujoshi[8] Selected Best Couple, kau dan aku berhasil menempati
top ranking sebagai pasangan.”
“Aku sama sekali tidak senang dengan itu semuaaaaa!”
Shido berteriak. Pada dasarnya ia sedikit khawatir karena menjadi bagian dari pasangan tersebut.
Namun, kelihatannya Tonomachi tidak peduli sama sekali (atau
malah, dia kelihatannya sudah terbiasa dengan hal itu), lalu dia melipat
tangannya dan kembali ke topik semula.
“Yah bagaimanapun, tidak berlebihan untuk bilang kalau dia adalah
orang paling terkenal di sekolah. Itsuka, keacuhanmu bahkan mengagetkan
Tonomachi yang hebat ini.”
“Kau sedang menirukan karakter apa, hah?”
Ketika Shido mengatakan ini, bel peringatan yang ia sudah terbiasa mendengarnya sejak tahun pertamanya berbunyi.
"Ups."
Kalau dipikir-pikir, ia belum memastikan tempat duduknya.
Shido mengikuti susunan tempat duduk yang tertera di papan, dan menaruh tasnya di sebuah bangku dua baris dari jendela.
Lalu, ia tersadar.
"...Ah"
Bagaikan dipermainkan takdir, tempat duduk Shido bersampingan dengan tempat duduk sang peringkat teratas.
Tobiichi Origami telah menutup dan memasukan bukunya ke dalam mejanya sebelum bel peringatan selesai berbunyi.
Dia lalu duduk menatap lurus kedepan, dengan postur yang seindah mungkin seakan telah terukur dengan penggaris.
"..."
Ia merasa sedikit canggung, Shido memalingkan matanya ke arah papan tulis seperti yang dilakukan Origami.
Seakan menunggu hal tersebut, pintu kelas terbuka dengan suara
berderak. Dari sana seorang wanita pendek dengan kacamata berbingkai
tipis muncul dan berjalan ke belakang meja guru.
Di sekeliling, murid-murid berbisik heboh.
“Ternyata Tama-chan...”
“Ah, Tama-chan.”
“Yang benar? Yeahhh!”
—Singkatnya, semuanya membicarakan hal-hal yang baik.
“Baiklah, selamat pagi semuanya. Untuk tahun ini, saya akan menjadi guru
homeroom kalian, nama saya Okamine Tamae.”
Guru pelajaran sosial, Okamine Tamae—panggilannya
Tama-chan,—berbicara lambat dan membungkuk hormat. Mungkin ukurannya
kurang pas, kacamatanya sedikit tergelincir, dan dia buru-buru
menahannya dengan kedua tangan.
Wajahnya yang kekanak-kanakan dan postur kecilnya yang bahkan
tidak lolos untuk menempati generasi yang sama dengan murid-muridnya,
ditambah tingkahnya yang santai, telah memberikannya ketenaran yang
teramat sangat di kalangan murid.
"...?"
Di antara murid-murid yang penuh gairah, ekspresi Shido menjadi kaku.
Duduk di samping kiri Shido adalah Origami, yang sedang melihat ke arah Shido dengan seksama.
"..."
Untuk sesaat, mata mereka bertemu. Shido buru-buru memalingkan pandangan matanya.
Kenapa dia melihat Shido—tidak, bukan berarti dia sedang
melihatnya, ada kemungkinan sesuatu yang di belakangnya, tapi untuk saat
itu Shido tidak bisa menenangkan diri.
“...Ap-Apa yang sebenarnya sedang terjadi...?”
Ia diam-diam bergumam, dengan tetesan keringat mengaliri wajahnya.
Setelah itu, kurang lebih tiga jam telah berlalu.
“Itsuka~. Kau tidak punya kerjaan, kan? Mau cari makanan?”
Upacara pembukaan telah berakhir, dan ketika para murid sedang
menyelesaikan persiapan mereka dan meninggalkan ruangan kelas,
Tonomachi, dengan tasnya yang diselempangkan di bahu, memulai
percakapan.
Selain pada saat
test, sekolah jarang berakhir pada pagi hari. Di sana-sini, sekelompok teman sedang membahas kemana akan pergi untuk makan siang.
Shido hampir saja bermaksud mengangguk, namun “ah” ia berhenti.
“Maaf. Aku sudah punya rencana hari ini.”
“Apha? Perempuan?”
“Ahhh, yah... iya.”
"Tidak mungkin!!"
Tonomachi membuat gerakan membentuk V dengan tangannya sambil mengangkat satu lutut, membuat reaksi mirip Glico
[9].
“Apa yang sebenarnya sudah terjadi libur musim semi kemarin!? Kau
masih belum puas setelah berhasil berbicara akrab dengan Tobiichi,
bahkan sekarang janji untuk makan siang dengan seorang gadis!? Bukannya
kita sudah bersumpah untuk menjadi Penyihir
[10] bersama-sama?”
“Tidak, aku tidak ingat sumpah semacam itu... lagipula, cuma dengan Kotori.”
Jawab Shido, dan Tonomachi menghela nafas lega.
“Dasar, jangan membuatku kaget!”
“Kau yang tiba-tiba mengambil kesimpulan sendiri.”
“Meh, kalau Kotori-chan berarti tidak masalah. Aku boleh ikut?”
“Mm? Ahh, kupikir ok saja...”
Tepat saat Shido selesai menjawab, Tonomachi menempatkan sikunya pada meja Shido, dan berbicara dalam suara rendah.
“Hey hey, Kotori-chan sekarang di tahun keduanya di sekolah
menengah, kan? Tidak apa-apa kan kalau dia mendapat pacar atau semacam
itu sekarang?”
"Huh?"
“Uhm, aku tidak punya maksud tersembunyi dibalik ini tapi, apa
pendapat Kotori-chan mengenai laki-laki sekitar 3 tahun seniornya?”
“...Sebenarnya, lupakan. Jangan berani-berani kau coba.”
Shido menyipitkan matanya, dan dengan jengkel mendorong wajah Tonomachi yang sedang mendekat.
“Haha. Lagipula, aku tidak sekurang-ajar itu, sampai mengganggu
persaudaraan kalian kalian yang menyenangkan. Aku mencoba untuk bermain
sesuai aturan.”
“Kau selalu bicara terlalu banyak dari yang seharusnya kau ucapkan.”
Memegangi pipinya, Tonomachi memasang tampang yang tak diduga sambil berbicara.
“Tapi hey, tidakkah kau pikir Kotori-chan super cantik? Bisa
tinggal di bawah atap yang sama dengannya benar-benar hal yang terbaik.”
“Kalau kau benar-benar punya imouto, kupikir kau akan berubah pendapat.”
“Ah... Kau seringkali mendengar kabar seperti itu. Jadi benar kalau orang-orang dengan adik perempuan tidak punya
fetish[11] seperti itu?”
“Ya, mereka bukan gadis. Mereka cuma makhluk yang disebut imouto.”
Shido menekankan kuat hal itu, dan Tonomachi tersenyum patuh.
“Ternyata benar-benar begitu, huh?”
“Begitulah. Kalau kau coba memikirkan sesuatu yang bukan
benar-benar seorang gadis, mungkin kau sedang memikirkan seorang
imouto.”
“Kalau begitu, kakak perempuan?”
“...Onnashi?”
[12]
“Wooow, kota khusus perempuan!”
Sambil tertawa, Tonomachi merespon.
—Saat itulah.
UUUUUUUuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu—————
"Huh!?"
Jendela-jendela di ruangan kelas bergemeretak diiringi suara sirene yang tidak enak didengar yang bergaung di seluruh jalanan.
“Ap-Apa yang terjadi?”
Tonomachi membuka jendela dan melihat keluar. Dikejutkan oleh
bunyi sirene tersebut, burung-burung gagak yang tak terhitung jumlahnya
terbang ke langit.
Murid-murid yang tinggal di ruangan kelas semuanya menghentikan pembicaraan mereka dan menatap, dengan mata terbelalak.
Mengikuti sirene tersebut, suara mekanis yang memiliki jeda setelah setiap kata, mungkin agar lebih mudah dimengerti, berbunyi.
“Ini bukan, latihan. Ini bukan, latihan. Gempa pendahulu, telah terdeteksi. Diperkirakan, terjadinya,
Spacequake. Penduduk sekitar, harap bergerak, ke
shelter terdekat, secepatnya. Diulang kembali—"
Seketika itu, ruangan yang diam membatu terisi dengan suara terkejut para murid.
—Peringatan
Spacequake.
Dugaan mereka semua telah dipastikan.
"Oi oi... Serius?"
Tonomachi menyuarakan dengan suara kering sambil bercururan keringat.
Namun, kalau berbicara mengenai ketegangan dan kegelisahan, Shido
dan Tonomachi beserta murid-murid lainnya di ruangan kelas masih dapat
dikatakan relatif tenang.
Paling tidak, tak ada murid yang jatuh dalam kepanikan.
Setelah kota ini rusak parah disebabkan
Spacequake tiga puluh tahun lalu, anak-anak seperti Shido telah dilatih berkala dalam latihan evakuasi sejak taman kanak-kanak.
Tambah lagi, ini adalah sekolah lanjutan. Terdapat
shelter bawah tanah yang dapat memuat seluruh murid.
“
Shelter-nya ada di sana. Kalau kita tetap tenang dan berlindung di sana, semua akan baik-baik saja.”
“Be-benar, kau benar.”
Tonomachi mengangguk pada kata-kata Shido.
Secepat mungkin namun tanpa berlari, mereka meninggalkan ruangan kelas.
Koridor telah dipenuhi murid-murid, yang sedang membentuk barisan menuju
shelter.
—Shidou mengernyitkan alis.
Ada satu orang yang bergerak berlawanan arah dari barisan tersebut—seorang siswi sedang berlari menuju pintu masuk.
“Tobiichi...?”
Benar, melesat melewati lorong dengan roknya yang terkepak-kepak adalah sang Tobiichi Origami.
“Hey! Apa yang kau lakukan!
Shelter-nya ada di arah yang berlawanan—”
“Tidak apa-apa.”
Origami berhenti sejenak, mengatakan itu saja, dan sekali lagi melesat.
“Tidak apa-apa... apa yang...?”
Terbingung, Shido membalikkan kepala dan memasuki barisan murid bersama Tonomachi.
Ia sedikit mengkhawatirkan Origami, tapi mungkin dia hanya meninggalkan sesuatu dan pergi mengambilnya.
Kenyataannya, meskipun peringatan telah dibunyikan, tidak berarti
spacequake akan langsung terjadi. Kalau dia cepat kembali maka dia akan baik-baik saja.
“T-Tolong tenang! Semuanya, baik-baik saja, jadi pelan-pelan! Ingat ‘okashi’, O-Ka-Shi! Osanai, kakenai, sharekoube
[13].
Dari depan terdengar gaung suara Tamae, yang sedang mengarahkan para murid.
Di saat bersamaan, tawa cekikikan kecil terdengar dari para murid.
“...Entah kenapa, melihat seseorang yang lebih gugup dariku membuatku lebih tenang.”
“Ahh, sepertinya aku mengerti yang kau maksud.”
Shido tertawa ringan, dan Tonomachi menjawab dengan ekspresi serupa.
Berhadapan dengan guru yang kelihatannya tak bisa diandalkan
seperti Tama-chan, bukannya membangkitkan kegelisahan, kenyataannya
ketegangan di kalangan para murid telah menurun.
Dan kemudian, Shido mengingat suatu hal, mencari-cari di kantongnya dan mengambil
cell phone-nya.
“Hm? Ada apa, Itsuka?”
“Tidak. S’bentar dulu.”
Sambil menghindari pertanyaan tersebut, ia memilih nama ‘Itsuka Kotori’ dari
call history dan menghubunginya.
Namun—tidak tersambung. Setiap kali ia mencoba, hasilnya sama saja.
“...Sial. Apa dia berhasil evakuasi?”
Kalau dia masih belum meninggalkan sekolah berarti mungkin akan baik-baik saja.
Masalahnya adalah kemungkinan bahwa dia sudah meninggalkan sekolah dan sedang berangkat menuju restoran keluarga.
Sebenarnya, pasti ada
shelter umum di dekatnya, jadi
seharusnya tidak akan ada masalah... tapi untuk alasan tertentu Shido
tidak dapat melepaskan perasaan tak menyenangkan tersebut.
Entah mengapa di pikirannya muncul tiba-tiba bayangan sosok
Kotori yang sedang menunggu Shido seperti anak anjing penurut, tanpa
mengindahkan kenyataan bahwa peringatan telah dibunyikan.
Di dalam kepalanya, kata-kata Kotori, “Janji!” berputar-putar dan bergema.
“M-memang kami sudah berjanji pasti akan bertemu di sana meskipun
Spacequake sekalipun terjadi, tapi... bahkan dia tidak akan sebodoh itu... Oh, iya, aku punya itu.”
Cell phone Kotori seharusnya punya layanan lokasi GPS yang terpasang.
Mengutak-atik
cell phone-nya, ia menampilkan peta kota di layar, di mana terlihat ikon penanda berwarna merah.
“...”
Setelah melihatnya, tenggorokan Shido terasa tersumbat.
Ikon yang menunjukkan lokasi Kotori tepat berada di depan restoran keluarga yang dijanjikan.
“Idiot yang satu itu...”
Dengan sumpah serapah itu ia menutup
cell phone-nya tanpa mengembalikan layar ke keadaan semula, dan keluar dari barisan murid.
“H-Hey, kemana kau pergi, Itsuka!”
“Maaf! Aku lupa sesuatu! Kau pergi duluan!”
Menjawab Tonomachi ketika menghadapi arah yang berlawanan, ia berlari menuju pintu masuk melawan alur barisan.
Setelah itu Shido buru-buru mengganti sepatunya dan, terlihat hampir jatuh kedepan, ia melesat keluar.
Melewati gerbang sekolah, ia ambruk di bukit di depan sekolah.
“...Kalau sudah begini, seharusnya kita evakuasi seperti biasa saja...!”
Berlari sekencang yang ia bisa, Shido berteriak keras.
Terhampar di medan pandang Shido adalah pemandangan yang sangat menyeramkan.
Jalan raya tanpa mobil yang bergerak, sebuah kota tanpa ada tanda-tanda manusia.
Di jalanan, di taman, bahkan di toserba, tidak ada satu orang-pun yang tertinggal.
Masih tertinggal jejak keberadaan orang-orang yang tadinya ada di
sini sampai beberapa waktu yang lalu, namun sosok nyata orang-orang
tersebut telah menghilang. Bagaikan adegan dari film horor.
Semenjak bencana tiga puluh tahun lalu, kota Tenguu inilah yang
dengan hati-hati mengalami pembangunan kembali sembari menangani
spacequake dalam kegelisahan. Jangankan tempat umum, bahkan persentase keluarga biasa yang memiliki
shelter adalah yang tertinggi di seluruh negeri.
Karena
spacequake yang sering terjadi belakangan ini, orang-orang dengan cepat ber-evakuasi.
Tapi meski begitu...
“Kenapa si idiot itu keras kepala menunggu disana...!”
Ia melepaskan teriakan, lalu membuka
cell phone-nya masih sambil berlari.
Ikon yang menunjukan posisi Kotori tetap berada di depan restoran keluarga itu.
Sambil memutuskan bahwa hukuman untuk Kotori adalah serentetan
sentilan jari di dahi, ia lanjut menggerakkan kakinya dengan kecepatan
tinggi menuju restoran keluarga tersebut.
Ia tidak mempercepat langkahnya atau semacam itu. Ia hanya berlari tanpa henti menuju restoran keluarga secepat yang ia bisa.
Kakinya sakit, dan ujung-ujung jarinya mulai mati rasa.
Kepalanya terasa pusing, tenggorokannya mulai terasa lengket, dan suara gemeretak dapat terdengar dari dalam mulutnya.
Namun, Shido tidak berhenti. Hal-hal seperti bahaya atau
keletihan tidak menemukan jalan menuju pikirannya, yang telah terisi
dengan satu pikiran akan keinginan untuk tiba ke di mana Kotori berada.
Tapi—
“...?”
Saat berlari, Shido melirik ke atas. Ia pikir ia melihat sesuatu yang bergerak di ujung penglihatannya.
“Apa... benda-benda itu...”
Shido mengernyitkan alisnya.
Ada tiga... atau mungkin empat. Di langit, benda-benda yang terlihat seperti manusia sedang melayang.
Tapi, Shido langsung berhenti mempedulikan hal itu.
Alasannya—
“Uwahhhh...!?”
Shido secara naluriah melindungi matanya.
Jalanan di depannya tiba-tiba diselimuti cahaya menyilaukan.
Yang diikuti oleh ledakan yang memekakkan telinga, dan gelombang udara yang dahsyat menerpa Shido.
“Ap—"
Shido secara refleks menutupi wajah dengan tangannya dan menambah kekuatan pada kakinya namun itu sia-sia.
Tekanan angin bagaikan topan raksasa meniupnya sehingga kehilangan keseimbangan dan ia terjatuh ke belakang.
“Ap... Apa yang terjadi...?”
Selagi mengusap dan mengedipkan matanya, ia berusaha menopang tubuhnya untuk bangkit.
“—Huh—?”
Melihat pemandangan yang terbentang di seluruh pandangannya, Shido melepaskan suara penuh keterkejutan.
Karena, jalanan yang tepat di depannya beberapa lama yang lalu, dalam waktu yang singkat seketika Shido menutup matanya—
Tanpa sisa sedikitpun, telah ‘lenyap’.
“Ap-apa ini, apa yang sebenarnya terjadi, ini...”
Ia bergumam dalam kebingungan.
Tidak peduli metafor apapun yang kau gunakan, itu tidak akan menjadi sebuah candaan.
Seakan-akan sebuah meteorit baru saja jatuh mendarat.
Tidak, lebih tepatnya, seakan-akan semua yang ada di permukaan tanah telah lenyap sepenuhnya.
Jalanan di hadapannya telah terkorek keluar menyerupai bentuk mangkok dangkal.
Dan, di pinggiran jalan yang telah menjadi seperti sebuah kawah—
Ada sesuatu seperti bongkahan logam yang muncul ke permukaan.
“Apa...?”
Karena pengaruh jarak, ia tidak bisa mengamati detail kecilnya
tapi—ia melihat sesuatu yang menyerupai bentuk singgasana yang diduduki
raja dalam game-game RPG.
Namun, bukan itu hal yang pentingnya.
Di sana ada gadis yang memakai gaun aneh, yang kelihatannya sedang berdiri di singgasana dengan kakinya di atas lengan tahta.
“Gadis itu—kenapa dia ada di tempat seperti itu?”
Ia hanya dapat melihat samar-samar, tapi ia dapat memastikan
rambut hitam panjangnya dan rok yang memancarkan sinar misterius. Ia
sepertinya tidak salah memastikannya sebagai seorang gadis.
Gadis itu sambil lalu mengamati lahan tersebut, lalu tiba-tiba berbalik menghadap Shido.
“Un...?”
Dia menyadari keberadaan Shido... Mungkin. Masih terlalu jauh jadi Shido tidak bisa memastikannya.
Selagi Shido ragu-ragu akan hal tersebut, gadis itu membuat gerakan lebih lanjut.
Dengan gerakan mengayun, dia terlihat mengambil pegangan yang
terlihat dari balik singgasana, dan perlahan-lahan menariknya keluar.
Benda itu adalah—dengan bilah yang lebar, sebuah pedang besar.
Menyemburkan sinar bagaikan ilusi layaknya pelangi, sebuah pedang yang aneh.
Gadis itu mengayunkan pedangnya, dan jejak jalur yang dilaluinya meninggalkan sedikit berkas cahaya.
Dan kemudian—
“Eh...!?”
Gadis itu menghadap Shido, dan disertai suara gemuruh, mengayunkan pedang itu secara Horizontal.
Ia instan merendahkan kepalanya. Tidak, jika dikatakan lebih
tepat, lengan Shido, yang tadinya menopang tubuhnya, kehilangan
kekuatan, dan sebagai hasilnya membuat posisi bagian atas tubuhnya
terjatuh.
“Ap—”
Pedang tersebut mengikuti jalur yang melewati tempat dimana kepala Shido tadinya berada.
Tentu saja, itu bukan jarak yang secara fisik dapat dijangkau pedang tersebut.
Namun, hal tersebut benar-benar—
“...Haaah—”
Dengan mata terbuka lebar, Shido membalikkan kepalanya ke belakang.
Rumah-rumah, pertokoan, pohon-pohon di sisi jalan, marka jalan
dan semuanya yang ada di belakang Shido dalam sekejap diratakan pada
ketinggian yang sama.
Sedetik kemudian, bergema suara kehancuran bagaikan gemuruh guntur dari jauh.
“Hiiii...!?”
Hal tersebut telah berada di luar pemahaman Shido. Gemetaran, jantungnya terasa sesak.
—Apa maksud semua ini?
Satu-satunya hal yang ia mengerti adalah jika saja kepalanya
tidak merendah barusan, sekarang ini ia sudah senasib dengan pemandangan
di belakangnya, terpotong rata.
“Ja-jangan bercanda...!”
Bagaikan menyeret tubuh yang seakan terpotong di pinggangnya,
Shido merayap mundur. Secepat mungkin, sejauh mungkin, aku harus
meninggalkan tempat ini...!
Akan tetapi.
“—Kau juga... ya”
“...!?”
Suara penuh kejemuan terdengar dari atas kepalanya.
Pandangannya, yang satu detakkan lebih lambat, mengikuti arah pikirannya.
Di depan matanya berdiri seorang gadis yang sampai beberapa lama yang lalu tidak ada di sana.
Benar, gadis yang sama dengan yang berdiri di tengah-tengah kawah barusan.
“Ah—”
Tanpa sengaja, ia melepaskan suaranya.
Dia kira-kira seumur Shido, atau mungkin sedikit lebih muda.
Dibalik rambut hitamnya yang mencapai lutut adalah wajah yang memiliki baik kecantikan dan wibawa.
Di tengahnya, sepasang mata yang memancarkan sinar misterius,
hampir seperti kristal-kristal yang merefleksikan variasi cahaya warna
ke berbagai arah.
Dia berpakaian aneh sekali. Menyerupai bentuk seperti gaun
seorang putri, terbuat dengan material yang tidak jelas apakah dari kain
atau logam. Tambah lagi, celah jahitan, bagian dalam, rok dan
sebagainya, tersusun dari lapisan cahaya misterius yang tidak terlihat
seperti unsur ragawi.
Dan di tangan itu, dia sedang memegang pedang besar yang panjangnya kira-kira menyamai tingginya sendiri.
Kejanggalan situasi tersebut.
Keanehan penampilannya.
Keunikan dari keberadaannya.
Yang manapun dari hal-hal tersebut sudah cukup untuk menarik perhatian Shido.
Tapi.
Ya, akan tetapi.
Yang mencuri pandangan Shido tidak mengandung ketidakmurnian seperti hal-hal tersebut.
“——”
Seketika itu.
Rasa takut akan kematian, bahkan kebutuhan untuk bernafas, telah ia lupakan, selagi matanya terpaku pada sang gadis.
Seluar-biasa itulah kiranya.
Gadis tersebut, sangat luar biasa... cantik.
"—Siapa..."
Terkesima, Shido berbicara untuk pertama kalinya.
Meski kelancanganku ini akan membuat suara dan mataku hancur, itu pikirnya.
Gadis itu perlahan mengalihkan pandangannya turun.
"...namamu?"
Suaranya, memuat pertanyaan tersebut dari lubuk hatinya, bergema di udara.
Namun.
"—Aku tidak punya hal semacam itu."
Dengan tatapan sedih, gadis itu menjawab.
“——”
Setelah itulah. Mata Shido dan sang gadis bertemu untuk pertama kalinya.
Pada saat bersamaan, sang gadis tanpa nama, dengan kemurungan
yang sangat, sambil membuat ekspresi yang seakan ingin menangis, menarik
pedangnya lagi dengan suara ‘kachiri’.
“Tunggu, tunggu, tunggu!”
Karena bunyi kecil tersebut, gemetarannya telah berlanjut. Shido memekik putus asa.
Tapi gadis tersebut hanya melemparkan pandangan kebingungan pada Shido.
“...Apa?”
“Ap-Apa yang kau rencanakan...!?”
“Tentu saja—membunuhmu secepatnya."
Mendengar sang gadis menjawab dengan sangat datar, wajahnya membiru.
“Ke-Kenapa...!”
“Kenapa...? Bukannya sudah jelas?”
Dengan wajah yang penuh kejemuan, sang gadis melanjutkan.
“—Lagipula, bukannya kau datang untuk membunuhku juga?”
“Huh...?”
Diberikan jawaban yang tak diduganya, mulut Shido terbuka lebar.
“...Tidak mungkin aku akan melakukan itu.”
“——Apa?”
Gadis itu menatap Shido dengan campuran keterkejutan, kecurigaan, dan kebingungan.
Namun, sang gadis seketika itu menyipitkan mata dan berpaling dari Shido, membalikkan wajahnya ke arah langit.
Layaknya dipandu olehnya, Shido juga berbalik melihat ke atas—
“Aap...!?”
Matanya terbelalak lebih lebar dari sebelumnya, nafasnya tersendat di tenggorokannya.
Bagaimanapun juga, ada beberapa manusia yang berpakaian aneh
sedang terbang di langit—dan tambah lagi, dari senjata-senjata di tangan
mereka, sejumlah besar sesuatu yang mirip misil diluncurkan ke arah
Shido dan sang gadis.
“W-Waaaaaaaaaah!?”
Ia berteriak secara naluriah.
Namun—bahkan setelah beberapa detik telah berlalu, Shido masih memegang kesadarannya.
“Eh...?”
Tercengang, suaranya terlepas.
Misil yang diluncurkan dari angkasa melayang tanpa bergerak di
udara beberapa meter di atas gadis tersebut, seperti sedang dipegangi
oleh tangan-tangan tak terlihat.
Gadis itu dengan jengkel mendesah.
“...Hal seperti ini sia-sia saja, kenapa mereka tidak pernah bisa belajar.”
Sambil mengatakan itu, sang gadis mengangkat tangan yang tidak sedang memegang pedang, dan mengepalkannya kuat-kuat.
Saat dirinya melakukan hal ini, misil yang tak terhitung
jumlahnya remuk, seakan diremas dengan paksa, dan meledak di tempat
mereka berada.
Bahkan jangkauan ledakkannya sangat kecil. Seakan seluruh daya hancurnya telah tersedot ke dalam.
Ia entah bagaimana dapat mengerti kekalutan yang dialami orang-orang yang melayang di langit tersebut.
Namun, mereka tidak menghentikan serangan mereka. Satu demi satu, misil-misil ditembakkan.
“—Hmpf”
Gadis itu melepas desahan pelan lagi, memasang wajah yang sepertinya tangisan akan keluar darinya pada saat kapanpun.
Ekspresi wajah yang sama dengan pada saat dirinya mengarahkan pedang pada Shido sebelumnya.
“——”
Melihat ekspresi tersebut, Shido merasa jantungnya berdebar bahkan lebih kuat daripada saat ia hampir kehilangan nyawanya tadi.
Benar-benar pemandangan yang sangat aneh.
Siapa gadis itu, ia tidak tahu. Siapa orang-orang di langit itu, ia juga tidak tahu.
Akan tetapi, fakta bahwa gadis tersebut lebih kuat dari orang-orang yang melayang di udara itu, ia mengerti sejauh itu.
Karena itulah ia samar-samar memikirkan pertanyaan ini:
Dia adalah yang terkuat.
—Lalu kenapa dia membuat ekspresi seperti itu?
"...Lenyap, lenyap. Semuanya and segalanya... Lenyaplah...!"
Sambil mengatakan itu, dia mengarahkan pedang yang memancarkan sinar yang sama misteriusnya dengan matanya, ke langit.
Penuh keletihan, penuh kesedihan, dengan sembarangan ia mengayunkan pedang.
Untuk sesaat—angin berhembus.
“...W-Wah...!”
Gelombang udara yang dahsyat menyerbu daerah tersebut, diiringi tebasan yang melayang menuju langit sesuai jejak ayunan pedang.
Orang-orang yang melayang di udara buru-buru menghindarinya, dan mundur dari posisi mereka.
Namun pada momen berikutnya, dari arah lain, sebuah sorotan
cahaya laser dengan tenaga luar biasa ditembakkan ke arah sang gadis.
“...!”
Ia refleks menutupi matanya.
Seperti yang diduga, sinar laser tersebut seperti mengenai
dinding tak terlihat di udara di atas sang gadis dan terhenti. Bagaikan
kembang api menyala di langit malam, sinar tersebut tersebar ke seluruh
arah, berkilau dengan indahnya.
Namun, sebagai kelanjutan dari sinar laser tersebut, sesuatu mendarat di belakang Shido.
“A-Apa yang sebenarnya terjadi...”
Sejak beberapa saat yang lalu, Shido masih belum bisa mengerti semua yang sedang terjadi.
Ia merasa seperti sedang melihat lamunan yang buruk.
Akan tetapi—setelah melihat sosok yang baru saja mendarat, tubuh Shido menjadi kaku.
Sosok yang sedang memakai mesin, atau semacamnya.
Dari atas sampai bawah terlapisi
body suit yang asing adalah seorang gadis.
Dia membawa mesin
thruster besar di punggungnya, dan sebuah senjata dengan bentuk seperti tas golf di kedua tangannya.
Alasan mengapa tubuh Shido diam membeku adalah sederhana. Ia mengenali gadis itu.
“Tobiichi... Origami...?”
Ia menggumamkan nama yang Tonomachi beritahukan padanya pagi ini.
Gadis dengan penampilan mekanik yang terlalu berlebihan itu adalah teman sekelasnya Tobiichi Origami.
Origami mendelik sekilas ke Shido.
“Itsuka Shido...?”
Sebagai balasannya, dia memanggil nama Shido.
Meskipun dirinya terkejut, ekspresinya tidak berubah. Namun, hanya sedikit saja, suaranya mengandung nada kebingungan.
“...Huh? Ap-Apa-apaan pakaian itu—”
Ia sebenarnya sadar kalau itu pertanyaan yang bodoh, tapi saat itu ia sudah terlanjur mengatakannya.
Kewalahan dengan semua yang telah terjadi, ia sudah tidak tahu apa yang harus dikhawatirkannya.
Akan tetapi, Tobiichi langsung memalingkan pandangan dari Shido, menuju sang gadis bergaun.
Lagipula,
“—Fmph”
Gadis tersebut mengayunkan pedangnya dengan cara yang sama seperti sebelumnya ke arah Origami.
Origami dengan cepat menyentak tanah, menghindari bidang dimana
pedang tersebut diayunkan, dan mendekati gadis itu dengan kecepatan
menakjubkan.
Dari ujung depan senjata di tangan Origami, muncul sebuah pedang yang terbuat dari cahaya.
Sasarannya adalah sang gadis, Origami mengayunkannya dengan seluruh kekuatan.
“—Ugh”
Gadis tersebut mengernyitkan alisnya sedikit, lalu menghentikan serangan tersebut dengan pedang di tangannya.
—Pada saat itu.
Dari titik di mana sang gadis dan Tobiichi bersilang pedang, terbentuk gelombang udara yang dahsyat.
“Wa-W-Waaaahhhhhhhh!?”
Dengan teriakan memilukan, ia membungkukkan tubuh dan entah bagaimana berhasil menahannya.
Origami ditangkis, lalu perlahan-lahan keduanya berpisah jarak dan saling melotot dengan senjata mereka yang teracu.

“...”
“...”
Menghimpit Shido di tengah-tengahnya, tatapan tajam dari si gadis misterius dan Origami saling bertemu.
Saat itu dapat dikatakan situasi yang kritis. Mereka sedang
berada pada kondisi dimana pemicu sekecil apapun dapat membuat
pertarungan tersebut dilanjutkan kembali.
“...”
Shido di sisi lain merasa tidak tenang.
Dengan keringat yang terbentuk di dahinya, dan pikiran untuk
melarikan diri dari tempat ini, ia perlahan menyeret tubuhnya secara
horizontal di atas permukaan tanah.
Namun, pada momen tersebut, tiba-tiba
cell phone di dalam sakunya berbunyi dengan melodi cemerlang.
“——!”
“——!”
Dan hal tersebut menjadi pemicunya.
Sang gadis dan Origami menyentak tanah di saat hampir bersamaan, berbentrokan tepat di depan Shido.
“Gyaaaaaaah!”
Menghadapi tekanan angin yang terlalu kuat, Shido tanpa ampun terlempar, dan pingsan setelah membentur dinding.
[edit] Bagian 3
“—Bagaimana situasinya?”
Mengenakan kemeja dan seragam militer berwarna merah membara yang
tergantung di bahunya seperti jubah, seorang gadis muda memasuki
bridge dan menanyakan pertanyaan tersebut.
“Komandan”
Laki-laki yang sedang berdiri di samping kursi kapten memberi salam hormat yang sama sempurnanya dengan di buku kemiliteran.
Gadis yang dipanggil komandan tersebut hanya melihat sepintas, lalu menendang lutut sang lelaki.
“Oww!”
“Lupakan salamnya dan jelaskan situasinya.”
Sambil mengatakan hal itu pada sang lelaki yang memasang ekspresi
kesakitan, atau mungkin sebaliknya, bahagia, ia duduk di kursi kapten.
Lelaki tersebut segera berdiri tegak.
“Siap. Serangan telah dimulai segera setelah
Spirit muncul.”
“AST?”
“Begitulah kelihatannya.”
AST, Anti Spirit Team.
Mengenakan
armor mekanik untuk memburu
Spirit, menangkap
Spirit, membinasakan
Spirit; melebihi manusia, namun belum se-
level dengan monster; mereka adalah penyihir di zaman modern.
Dengan kata lain—kenyataannya bahkan dengan taraf kemampuan
superhuman saja masih belum cukup untuk bertarung serius dengan para
Spirit.
Kekuatan para
Spirit ada pada taraf yang berbeda.
“—Kami sudah memastikan sepuluh orang. Pada saat ini kami sedang
mengawasi salah satunya, yang sedang bentrok dalam pertarungan.”
“Tunjukan tampilannya.”
Atas kata-kata sang komandan, rekaman
real-time[14] ditampilkan pada monitor raksasa di
bridge.
Pada jalan lebar sekitar dua blok dari pusat kota, terlihat dua gadis sedang bertarung sambil mengayunkan senjata-senjata besar.
Seiringan bentrokan senjata, kilatan cahaya berhamburan,
permukaan tanah menjadi retak, dan bangunan-bangunan runtuh. Sulit untuk
membayangkan kalau pemandangan ini merupakan bagian dari kenyataan.
“Dia cukup handal. Tapi, yah, dengan
Spirit sebagai lawannya dia mungkin tidak akan dapat berbuat apa-apa.”
“Memang seperti yang kau katakan, tapi kenyataannya kita juga tidak bisa berbuat apa-apa.”
“...”
Sang komandan mengangkat kakinya, dan dengan tumit sepatu
boots-nya menginjak kaki lelaki tersebut.
"Guhgii!"
Mengabaikan lelaki itu yang memasang wajah yang sangat bahagia, sang komandan pelan-pelan mendesah.
“Aku mengerti itu bahkan tanpa kau memberitahuku. Aku juga bosan cuma bisa melihat saja.”
“Jadi, apa yang anda maksud adalah...”
“Ya. Para
Rounds[15] akhirnya sudah memberikan persetujuan mereka. Rencana sedang dimulai sekarang.”
Dengan kata-kata tersebut, suara para anggota
crew di
bridge yang menelan ludah mereka dapat terdengar.
“Kannazuki.”
Sang komandan dengan santai bersandar ke punggung kursi, dan
mengangkat tangan kecilnya dengan jari kedua dan jari ketiga terangkat
lurus. Seperti meminta batang rokok.
“Siap.”
Lelaki itu dengan sigap mencari di sakunya, dan mengambil sebuah
lolipop kecil. Ia dengan cepat namun hati-hati melepas bungkusnya.
Lalu, ia berlutut disamping komandan, dan mengatakan “silahkan” saat menempatkan lolipop itu di antara jari-jari komandan.
Sang komandan memasukkannya ke dalam mulutnya, dan batangnya mulai bergerak naik-turun.
“...Ahh, kalau dipikir-pikir, ke mana ‘senjata rahasia’ kita? Dia
tidak menjawab panggilanku tadi. Aku ingin tahu apa dia masuk ke
shelter sebagaimana mestinya?”
“Coba saya selidiki—dan, huh?”
Lelaki itu memiringkan kepalanya, kebingungan.
“Ada masalah apa?”
“Err, itu.”
Sang lelaki menunjuk ke arah gambar. Komandan menggerakkan pandangannya ke sana—"ah", ia membuat suara pendek.
Di sisi pertarungan antara sang
Spirit dan sang anggota AST, terbentang sosok lelaki berpakaian seragam sekolah.
“...
Timing yang sempurna. Cepat pungut dia.”
“Baik.”
Lelaki itu menunduk hormat.
Panjang amat! :D enak liat animenya... tunggunya aja reviewnya di http://myjapanarea.blogspot.com/
ReplyDeleteAyo gan, di tunggu vol ke-2 nya :D
ReplyDeleteTambah lagidong gambarnya gan... :3
ReplyDeleteGan SAO DONG
ReplyDelete